1. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK)-Cabang Sumatera Utara.

2. Ketua Lembaga Kajian Sosial Masyarakat-Wilayah Sumatera Utara.

3. Koordinator Konsultasi Hukum bagi Rakyat-Wilayah Sumatera Utara.

Jumat, 06 September 2013

Hukum Adat di Persimpangan Jalan?

Prof. Mr. C. Van Vollenhoven seorang pakar Hukum Adat di masa Belanda masih menguasai Nusantara mendefinisikan hukum adat sebagai “Hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.”

Perlu dipahami bahwa kondisi di sebagian wilayah Hindia Belanda (sebelum Indonesia) saat itu dikuasai Belanda, sedangkan masyarakatnya telah menjalankan hukum dan aturan yang telah berlaku jauh sebelumnya secara turun temurun. Sehingga, hukum adat masih digunakan dan diterapkan sesuai dengan wilayahnya masing-masing, di samping hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh penjajah Belanda.

Sedangkan, pengertian Hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

 Hukum Adat - Dinamis dan Elastis

Saat ini daerah di Indonesia yang masih menggunakan /hukum adat/ secara total oleh masyarakatnya terbatas di beberapa tempat tertentu saja seperti warga suku Badui di Lebak, Banten, yang mengenal istilah “pamali” atau warga suku Mentawai yang mempraktikkan adat “arat sibalungan”. Namun, di wilayah lain, hukum adat dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, ia bersifat dinamis dan elastis sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Misalnya, proses ritual adat suku Nuaulu di Maluku Tengah yang membutuhkan kepala manusia setiap pelaksanaannya. Namun karena tak mungkin prosesi ini dilakukan lagi pada saat ini, maka hukum adatlah yang menyesuaikan diri.


Hukum Adat - Kearifan lokal

Banyak nilai kearifan lokal yang terdapat di dalam hukum adat. Oleh karenanya, hukum adat sebagai salah satu sumber hukum nasional perlu dilegalkan sebagai peraturan tertulis, sehingga hukum yang berlaku di masyarakat terasa lebih inhern, /acceptable/, dan adaptif.

Berikut ini adalah beberapa contoh kearifan lokal dalam Hukum Adat:

  • Hukuman adat /“ngangus”/ suku Dayak Iban Jalai Lintang Kalimantan, yang menerapkan hukuman bagi warganya yang terbukti bersalah karena membakar rumah (Nunu Rumah). Hukumannya adalah adalah dikenakan sanksi adat sebesar Rp25 Juta rupiah.
  • Hukum adat /“sasi/” di Maluku Tenggara. Melarang warganya untuk mengambil sumber daya alam di suatu kawasan dalam jangka waktu tertentu, biasanya enam bulan sampai satu tahun, dengan tujuan menjaga kelestarian lingkungan dan menjamin hasil lebih berkualitas dan berlipat di masa depan. Bagi para pelanggarnya akan dikenakan sangsi adat berupa pemberian lela (miniatur meriam berwarna emas) dan mas adat (berbentuk gelang dari emas). Satu lela bisa berharga Rp10 juta. Sedangkan, satu mas adat bisa berharga Rp500.000. Jumlah lela dan mas adat yang diberikan tergantung keputusan tetua adat.
  • Hukum adat /“paboya”/ di daerah Palu, Sulawesi Tengah. Bagi para pelaku tindakan kriminal di lokasi tambang emas Poboya. Dewan Adat Poboya menerapkan denda tiga ekor kambing berwarna hitam bagi para pelakunya.


Lingkungan Hukum Adat

 1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
 2. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Tanah
    Kampar, Kerinci)
 3. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
 4. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak,
    Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan,
    Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan
    Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).
 5. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo).
 6. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat,
    Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).
 7. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
    Makasar, Selayar, Muna).
 8. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
 9. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru,
    Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar).
10. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba,
    Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima).
11. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem,
    Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa).
12. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo,
    Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
13. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).
14. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).


Beberapa Kasus Hukum Adat

Namun, tidak semua hukum adat yang berlaku di masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan mudah. Di beberapa tempat, hukum adat begitu kuatnya mencengkeram warganya sehingga mereka sulit untuk menghindar. Padahal, hukum adat tersebut sudah banyak dipertanyakan oleh para penggunanya sendiri, contohnya adalah hukum adat “kasepekang” di Bali.
 
Kasepekang adalah peraturan yang mengharuskan warganya dikeluarkan dari desa adat, sampai sang terhukum membayar denda adat yang besarnya bisa mencapai 200 juta rupiah. Bahkan, untuk desa adat yang tergolong keras, krama desa adat melarang orang yang di kasepekang untuk menggunakan fasilitas kuburan dan juga dilarang berkomunikasi atau bersosialisasi dengan anggota banjar lainnya. Bahkan, yang terkena kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang.

Hukum adat kasepekang ini dapat ditimpakan kepada wanita yang melahirkan anak kembar dengan jenis kelamin yang berbeda. Oleh karenanya, masyarakat Hindu Bali sendiri banyak yang menginginkan hukum adat ini dihapus atau disesuaikan. Karena, dianggap berlawanan dengan hukum positif. Begitu pula dengan adat “ngayau” suku Dayak di Kalimantan, yang kental dengan aroma kanibalisme. Walau sudah dihapus, tetapi ngayau muncul kembali seperti pada saat kerusuhan Sampit dan Senggau Ledo beberapa tahun yang lalu.

Hukum adat di persimpangan jalan, ada yang bersifat arif ada pula yang menabrak hukum positif. Mau dibawa ke manakah hukum adat selanjutnya?


Perdebatan Definisi Hukum Adat

Istilah /adat/ setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘kebiasaan’. Oleh karena itu, istilah hukum adat dapat disamakan dengan istilah hukum kebiasaan. Namun, menurut Van Dijk, kurang benar jika hukum adat disamakan dengan hukum kebiasaan.

Hukum kebiasaan merupakan peraturan hukum yang muncul karena kebiasaan. Itu artinya, begitu lamanya seseorang dapat bertingkah laku menurut cara tertentu sehingga terciptalah suatu peraturan yang diterima serta diinginkan oleh masyarakat. Simpulannya, hukum adat dan hukum kebiasaan itu mempunyai perbedaan menurut Van Dijk.

Di lain pihak, Soejono Soekanto, menjelaskan bahwa hukum adat hakikatnya adalah hukum kebiasaan, tetapi kebiasaan yang memiliki akibat hukum (das sein das sollen). Dalam konteks ini, kebiasaan adalah bagian dari penerapan hukum adat dan merupakan perbuatan-perbuatan yang terjadi berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju ke Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.

Sementara itu, Ter Haar yang populer dengan teorinya, yaitu teori keputusan (Beslissingenleer), menjelaskan bahwa hukum adat meliputi semua peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang berwibawa dan berpengaruh. Ditambahkan juga di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dituruti dengan penuh kesadaran oleh mereka yang diatur keputusan tersebut.

Keputusan-keputusan ini bisa berbentuk sebuah persengketaan atau dapat juga berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Ter Haar pun mengatakan bahwa hukum adat bisa muncul dari keputusan warga masyarakat.

Ada juga yang mengatakan bahwa hukum adat pertama-tama adalah persambungan tali antara dulu dan akan datang. Hukum adat tidak berada dalam peristiwa tersebut, tetapi pada apa yang tidak tertukis di belakang peristiwa tersebut.