“Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada
habisnya, baik ditingkat pusat sampai daerah ; merupakan bukti nyata
betapa bobroknya moralitas para pejabat pemerintahan kita. Namun apakah
korupsi hanya diakibatkan oleh persoalan moralitas belaka?. Kita akan
tahu dengan belajar dari sejarah”.
Ungkapan tersebut di atas terasa sangat keliru meski
ada kebenarannnya yang dikandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta
merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di
Indonesia. Moralitas seseorang sangat
ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya
moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar
dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya.
Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh
kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah
secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of
power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat
pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek
kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah
melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri.